Longsor dan Mimpi Kehutanan
Oleh: Izzatin Najihah
Kilauan sang surya satu persatu
mulai meredup, awan putih penghias angkasa pun kini harus mengalah dengan awan
hitam yang tiba-tiba datang. Suara gemuruh juga mulai mengeras mengiringi turunnya
rintikan hujan. Tak butuh waktu lama, rintikan-rintikan kecil tersebut telah
menjadi lebatnya hujan yang disertai angin kencang.
Seorang gadis tampak sedang membuka payung
kesusahan, derasnya hujan seakan menyoraki hatinya yang tengah membara ditengah
dinginnya suasana. Ia melempar benda itu kesal ketika menyadari seluruh
tubuhnya telah basah oleh ganasnya hujan siang ini. “Arrghh!” umpat Mei lirih.
Mei menundukkan kepalanya, sembari mengingat ucapan Rahsya yang begitu menusuk
hatinya. “Kenapa? Kenapa harus aku?” ia menangis sesegukan, meratapi nasibnya
yang memang sebatang kara.
Mei
adalah salah satu dari beberapa korban tanah longsor yang selamat beberapa
tahun lalu. Sedangkan ribuan lainnya tewas dalam bencana tersebut, termasuk
kedua orang tuanya. Sejak kejadian itu, Mei tinggal di panti asuhan di kota
yang ia tinggali sekarang, jauh dari desa ia dilahirkan. Ia harus bekerja keras
dan belajar dengan giat agar dapat menjadi seorang yang sukses. Cita-citanya
adalah, ia ingin menanam pohon di suatu lahan kosong di daerahnya. Agar
kejadian yang menimpa dirinya tidak terulang lagi pada orang lain di masa
depan.
****
Suasana
kelas begitu ramai hari ini, sampah berada di mana-mana, buku-buku berserakan
tidak teratur, tidak ada yang berada tepat di tempatnya. Tidak jauh berbeda
dengan benda-benda itu, siswa-siswa juga terlihat seperti itu. Ada yang
mendengarkan musik, bercanda bersama, bermain suatu permainan, dan lain-lain. Namun
berbeda dengan Mei, Mei justru sedang membaca buku yang membahas tentang hutan.
Ia membalik lembar demi lembar buku itu, membaca dengan serius, dan memahami
apa yang tertulis dalam buku itu.
Tiba-tiba, Rahsya, seorang teman yang memang tidak suka datang
menggebrak mejanya, ia berkata:
“Heh, buku apaan tuh?”. Mei mendongakkan kepalanya,
mukanya berubah menjadi masam ketika melihat wajah Rahsya yang selalu
mengganggunya. Terdapat sedikit rasa takut sebenarnya, tapi ia mencoba untuk
tidak memperlihatkan itu.
“Nih, bisa baca judulnya kan?” Jawabnya sambil memperlihatkan
sisi depan atau cover buku itu.
“Oh” balas Rahsya singkat, kemudian mengambil buku
tersebut dari tangan Mei tiba-tiba.
“Yaaa!!!” Seru Mei sedikit berteriak.
“Bentar doang, cuma pengen liat isinya aja,” Kata Rahsya
menjelaskan. Sedikit rasa curiga di hati Mei, karena tidak biasanya Rahsya
berkata dengan sedikit lebih lembut dari biasanya. Mei melanjutkan membacanya
setelah Rahsya mengembalikan bukunya.
Rahsya duduk di
samping Mei, sejenak memperhatikan Mei yang sedang membaca buku, terlihat sangat
serius.
“Mei, kenapa
sih, kok kayaknya suka banget sama buku kayak begitu?” Tanya Rahsya. Mei
semakin bingung dengan sikap Rahsya hari ini, tidak seperti biasanya.
“Tumben nanya.”
Jawabnya singkat.
“Emm.. nggak
papa, rencananya mau masuk fakultas kehutanan, mangkanya sering baca buku kayak
gini.” Jelas Mei.
“Kenapa pengen
masuk itu?” Rahsya bertanya lagi, membuat Mei bertambah bingung dengan
sikapnya. Namun, Mei masih berfikiran positif, tidak ingin berfikiran negatif
dengan sikap Rahsya hari ini.
“Yah.. ada lah.” Rahsya hanya diam mendengar jawaban Mei,
tidak ingin bertanya lebih banyak lagi, karena ia tahu Mei tidak ingin
memberitahunya.
Rahsya tampak
bergumam tidak jelas, ia menggoyang-goyangkan kakinya di bawah meja, seperti
ada sesuatu yang ingin diucapkan. Angin yang berhembus melalui sela-sela
jendela ruang kelas semakin mendorong hatinya untuk mengatakan apa yang ia
ingin ia katakan kepada Mei. Namun, egonya yang tinggi membuatunya berpikir berulang-ulang
untuk itu.
“Emm, Mei.”
Kata Rahsya akhirnya, namun Mei hanya diam tidak menghiraukan sedikit pun.
“Begini, kakakku memiliki suatu komunitas pecinta hutan, komunitas resmi, anggotanya
juga remaja-remaja seperti kita. Mereka biasanya melakukan kegiatan reboisasi
bersama, dan biasanya melakukan kegiatan penelitian, juga melakukan penebangan
pohon yang tua, yah semacam itulah. Kali aja kamu berminat gabung.” Ucap Rahsya
dengan perasaan sedikit gugup, melawan ego yang ia punya. Mei terdiam, mungkin
sedang mencerna kalimat yang diucapkan Rahsya.
Suasana menjadi
hening diantara mereka berdua. Mei tampak ragu untuk menjawab tawaran yang
dikatakan Rahsya. Ia berhenti membaca, hanya terdiam memikirkan jawaban apa
yang akan ia katakan. Setelah beberapa saat, ia berfikir, mungkin ini adalah
jalan yang diberikan oleh Allah untuknya.
“Oke!” Jawab
Mei sambil tersenyum simpul. Hati Rahsya menjadi lega.
“Oke, informasi
lebih lanjut buka aja websitenya, nih.” Ucap Rahsya seraya meletakkan secarik
kertas di atas meja, kemudian berdiri.
*****
Angin
berhembus semilir menembus kulit, sinar matahari masuk melalui celah-celah
dedaunan, memberi penyinaran pada setiap makhluk hidup yang ada di dalamnya,
embun yang menempel pada rerumputan juga kicauan burung-burung semakin menambah
kesan alami pada hutan ini. Mei berjalan menyusuri hutan ini dengan hati-hati,
mengikuti anggota komunitas lain di depannya. Mereka sedang mengadakan
penelitian terhadap hutan ini, mereka akan menebang pohon-pohon yang berumur
sangat tua, kemudian menanam yang baru.
Mereka
mulai memeriksa satu persatu pohon yang terlihat sudah berumur beberapa abad.
Mereka dibagi menjadi beberapa kelompok, dimana tiap kelompoknya akan ditugasi
beberapa pohon untuk diteliti. Dengan alat-alat yang mereka bawa, mereka
memulai pekerjaan mereka.
“Menurut ciri-cirinya,
umurnya masih tidak terlalu tua.” Ucap Arif, ketua tim.
“Berarti, kita
tidak perlu menebang pohon ini?” Tanya Bahri, salah satu anggota.
“Iya” jawab
Arif singkat.
Mereka
kembali melanjutkan peneletian. Sepanjang jalan, Mei dan tim lainnya harus
berhati-hati karena banyak bebatuan dan medan yang menanjak. Panasnya matahari tidak menyurutkan semangat
mereka. Peluh yang bercururan juga tidak menghentikan langkah mereka untuk
tetap melakukan kegiatan.
“Nah, ayo kita
lihat yang itu!” Seru Arif.
“Kak, pohon ini
usianya sepertinya sudah tua.” Kata Mei setelah setelah memeriksa ciri-ciri
pohon tersebut.
“Iya benar. Pohon ini sudah sepatutnya
ditebang. Beri tanda.” Kata Arif.
Mei dan dua
anggota lainnya pun melakukan apa yang ketua mereka perintahkan, kemudian pergi
mencari pohon yang lain. Mereka harus bergerak cepat, mengingat masih banyak
pohon yang harus mereka teliti, juga matahari yang terus berjalan ke arah Barat.
Melakukan kegiatan yang ia sukai, membuat hati Mei merasa senang. Setidaknya,
kegiatan yang sedang ia lakukan akan berguna untuk orang lain. Dan ia berharap,
kejadian yang dialaminya tidak terjadi kepada orang lain nanti.
*****
Wangi
harum bunga terasa memasuki indra penciuman, embun tampak menempel pada setiap
rumput, kicauan burung menambah suasana indah di taman ini. Mei duduk pada
sebuah bangku sambil berkutat dengan laptop, tampak serius. Jemari tangannya
menari indah di atas keyboard, mencetak deretan huruf yang muncul di layar.
Sesekali jarinya berhenti, matanya bergerak ke kiri lalu ke kanan, mengoreksi
kalimat-kalimat yang telah ia buat. Ia melirik teh panas di sebelahnya, uap teh
itu tidak juga mereda ternyata.
“It’s
not about money, money, money.” Suara ponsel Mei. Mei menekan icon berwarna
merah, lalu menempelkan alat canggih itu
ke telinga kanannya.
“Mei, dimana?”
Tanya seseorang di seberang sana.
“Di taman dekat
toko roti.” Ucapnya.
“Aku akan
kesana”.
Bip, sambungan terputus. Mei terdiam sejenak, kemudian mengisi
tenggorokkannya yang kering dengan teh yang bisa dibilang masih panas itu.
“Mei!”
Seorang gadis melambaikan tangan sambil sedikit berjinjit. Mei tersenyum manis,
kemudian menepuk bangku di sampingnya. Rahsya berjalan menghampiri Mei kemudian
duduk.
“Ngerjain apa?”
Tanya Rahsya mengintip layar laptop merah Mei.
“Artikel
penelitian kemarin.” Jawab Mei tetap terfokus pada pekerjaannya.
“Eh iya, gimana
kemarin?” Tanya Rahsya lagi.
“Yah.. gitu
lah, seru pokoknya. Eh makasih ya.” Ujar Mei.
Rahsya hanya tersenyum, senang
karena bisa membuat temannya senang. “Membuat orang lain bahagia itu.. luar
biasa menyenangkan ternyata.” Gumamnya pelan.
Sejenak
Mei berhenti, ia memandang ke depan, menghirup segarnya udara pagi ini. Hari
libur adalah hari dimana seorang siswi sepertinya dapat beristirahat sejenak
dari kegiatan-kegiatan sekolah yang melelahkan. Mei memperhatikan seorang
keluarga yang sedang berjalan-jalan bersama, mengingatkan ia pada kedua orang
tuanya yang telah tiada. Mimik wajahnya berubah, rasa rindu yang amat besar
tampak jelas disana.
“Mei, kenapa?”
Tanya Rahsya yang menyadari perubahan wajah Mei.
“Tau gak,
kenapa aku suka banget sama hal-hal yang berbau hutan?” Tanyanya tanpa menoleh.
Rahsya hanya menggeleng-geleng.
“Orang tuaku
itu termasuk korban tewas pada bencana tanah longsor pas aku masih kecil. Sejak
itu, aku jadi tinggal di panti asuhan. Dan aku mikir aja.. aku gak pengen
kejadian sama terjadi sama orang lain. Mangkanya aku suka banget sama kegiatan-kegiatan
kehutanan, soalnya hutan bisa mencegah tanah longsor.” Jelas Mei.
Rahsya termenung sejenak,
membayangkan apa yang dirasakan Mei saat mengalami masa-masa sulit seperti itu.
Rasa penyesalan mulai muncul di hatinya. Menyesal karena pernah menganggap Mei
orang yang tidak berguna, orang yang bodoh dan tidak tahu apa-apa. Dirinya
salah sekarang. Ia berpikir, setidaknya, Rahsya jauh lebih beruntung daripada
Mei. Rahsya sadar, ia melupakan rasa syukurnya.
Rahsya
memandang wajah Mei beberapa saat, ia melihat genangan air di pelupuk matanya,
kemudian jatuh membasahi pipi gadis itu satu persatu. Mei menangis tanpa suara.
Rahsya terpaku, ia tak bisa berbuat apa-apa. Suasana pun menjadi hening. Rahsya
menunduk sambil menggoyang-goyangkan kakinya, bingung apa yang harus ia lakukan
sekarang. Mei mengusap air matanya, menghirup oksigen kemudian
menghembuskannnya perlahan.
“Mei, maaf
selama ini..” Ucap Rahsya terputus.
“Tidak papa,
lupakan saja” Jawab Mei tersenyum menghadap Rahsya.
Tanpa
mereka sadari, matahari tidak lagi berada di arah Timur. Embun pada rerumputan
juga telah hilang. Suara kicauan burung juga tidak sekeras beberapa jam yang
lalu. Mei kembali melanjutkan pekerjaannya ditemani Rahsya di sampingnya.
Sambil mengobrol tentu akan membuat kegiatan Mei akan lebih menyenangkan, tidak
membosankan.
Comments
Post a Comment